iklan-sampo-para-calegMendekati pemilihan calon anggota legislatif (caleg), pemandangan yang semakin menjamur adalah foto-foto caleg yang bertebaran dimana-mana dalam bentuk segala rupa. Para caleg itu menebarkan dengan sangat percaya diri foto mereka. Namun, apakah mereka benar-benar telah memperkenalkan diri mereka? secara logika tidak. Tapi ternyata, itu bisa efektif di zaman demokrasi Indonesia saat ini. Walaupun cara ini hanya mengenalkan imej semata tanpa ada jaminan itulah gambaran diri sejati para caleg.
Menurut Sokrates dan Plato (pada abad ke-5 SM), diri sejati seseorang bukanlah tampakan rupa atau imej seseorang. Wajah bisa saja rupawan, penampilan bisa saja keren. Namun, itu semua hanya polesan seni rias semata. Tubuh bisa berotot, garis tubuh bisa sportif. Namun, semua itu bisa saja diperoleh lewat semua hasil seni menjaga tubuh lewat kebugaran atau bedah kosmetik.
Sebenarnya Plato telah mengembangkan seni merawat jiwa, platonisian. Dilain sisi pengembangan seni rias dan seni olah tubuh adalah spesialisasi kaum sofis. Awalnya kaum sofis_diambil dari kata sophos yang berarti orang bijak. Namun, kata ini kemudian menjadi negatif karena ternyata kaum sofis hanya “tampaknya” saja bijak. Mereka mengembangkan kepandaian dan nasehat-nasehat bijak mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar politik Athena masa itu. Sayangnya,kaum ini hanya berorientasi terhadap kesuksesan berpolitik semata, bukan untuk membuat politik menjadi lebih baik.
Padahal, dalam platonisian diajarkan bahwa jika kelurusan jiwa menjadi perhatian utama. Maka manusia akan hidup adil terhadap sesama dan menyerahkan diri pada orientasi kebaikan. Sehingga, penampakan tubuhnya akan selaras dan indah dengan sendirinya. Namun, ajaran tersebut dibalikkan oleh kaum sofis. Bagi mereka : tampakan tubuhmu keren dan harmonis, maka orang akan percaya bahwa jiwamu juga lurus. Tampilkan kata-kata yang indah dan menghibur. Maka orang akan percaya bahwa itulah dirimu, jiwamu.
Pandangan sofisme ini sekarang semakin membahana. Seribu satu siasat untuk tampak bijak dan hebat dipertontonkan. Ratusan foto senyum para caleg dihiasi untaian kata-kata indah terpampang. Semisal, caleg x, tegas, cerdas, ikhlas dan amanah atau generasi muda harapan baru. Foto-foto itu tak beda dengan iklan sampo. Setiap patai politik sibuk menjual imej yang sebaik mungkin. Dan kita kemudian dengan senang hati ikut membeli imej-imej yang irasional karena tak ada jaminan kebenaran tersebut. Terlepas dari fakta irasional foto para caleg itu hanya sekedar foto belaka yang dibuat-buat. Lepas dari fakta bahwa kata-kata mereka hanya janji tanpa jaminan apapun, itu semua bisa efektif. Sama seperti iklan, kita bisa saja tergoda untuk mencobanya. Kita bisa saja menilai imej-imej yang ditampilkan para caleg melalui foto sebagai imej sebenarnya diri mereka.
Belum lagi pemilu 2009 yang menghadirkan sekian puluh partai dengan sekian puluh ribu calegnya makin memperbesar peluang imej-imej irasional itu. Ditambah pula dengan pengetahuan pengetahuan publik yang minim akan para caleg-caleg. Sehingga sangat memungkinkan ruang-ruang pengetahuan yang kosong itu akan diisi dengan imej-imej yang disodorkan masing-masing partai. Maka siap-siap saja akan terulang lagi seseorang yang dipilih karena imejnya yang murah senyum.
Tentu saja memilih caleg atas dasar imej bersifat irasional karena tidak dilandaskan pada realita. Dan persis inilah yang diinginkan kaum sofis lewat pencitraan dan penggambaran yang tampaknya “rill”. Kita diminta memilih karena seolah-olah ada kebenaran disitu. Selain itu, semakin banyaknya partai semakin menuntut kita untuk memilih caleg dengan benar-benar selektif. Banyaknya partai yang membutuhkan individu-individu yang akan dijadikan caleg memungkinkan partai memilih calon yang tak terlalu berkompeten mengingat tak banyaknya individu yang memiliki kualitas yang benar-benar dibutuhkan. Sehingga sangat memungkinkan semakin gencarnya aksi tebar imej oleh partai-partai ini.
Apabila kita mengikuti platonisian, kita sadar imej bukanlah realitas apalagi kebenaran. Pengetahuan yang benar diperoleh bila kita berani melampaui bayang-bayang. Kita seharusnya janganlah berhenti hanya pada imej senyum simpatik sebuah foto atau manisnya untuaian kata. Tetapi tembuslah lebih dalam mengenali riwayat para caleg dan partai politiknya. Bila perlu,lebih jauh lagi, renungkanlah. Apakah caleg-caleg seperti A atau Z dapat membawa perubnahan yang lebih baik. Tak ada salahnya kita mencoba untuk kilas balik siapa mereka dan bagaimana kinerja mereka selama ini. Semoga kita berani menginvestasikan waktu dan tenaga untuk ‘mengenali jiwa’ para caleg tanpa tertipu iklan, slogan atau foto simpati mereka. Tanpa itu, kita akan menyia-nyiakan kebebasan demokrasi yang sudah kita nikmati selama ini.***